--> Skip to main content

Di Yaman, Jet Tempur Cuma untuk Menembak Sumur

Membunuh pelan-pelan bukanlah gaya tentara, kesederhaan dan kecepatan adalah koentji. Aku melihat itu di film-film. Baik film perang atau agen super, strategi eksekusi musuh tak jauh beda, bunuh dalam tiga detik.Tidak perlu jadi bintara untuk menyadari bahwa membiarkan musuh berkeliaran adalah menaruh leher di tiang gantungan.

Namun sebagaimana semua kenormalan di atas daratan dunia, ada saja yang minta pengecualian, begitu juga dalam medan perang ketentaraan.

Kemarin kudapati kabar bahwa di Padang ada perang, segerombol tentara memerangi penjual buku. Tentu saja ini menjadi pengecualian. Khusus bagi tentara Indonesia, buku serta penjualnya bisa jadi musuh yang merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang harga mati, konkretnya buku soal komunisme.

Apakah buku-buku tersebut sungguh berisi ajaran penjungkalan pemerintah dan peluluhlantakan negara atau tidak, itu soal belakangan. Yang penting sikat dulu. Dalam strategi perang ini disebut pre-emptive strike, serangan pendahuluan secara sepihak. Strategi ini dipergunakan untuk musuh yang sangat mengancam keselamatan bersama.

Di jaman yang sudah berubah seperti sekarang, perang pada komunisme itu startegi Perang Dingin kubu Amerika yang sudah kelar 30 tahun lalu, pre-emptive strike senantiasa digunakan untuk menyapu teroris. Adapun yang tertangkap itu cuma santri yang hendak pulang kampung dengan mengenakan sarung dan seransel baju kumal seperti di Surabaya tempo hari, ya tidak jadi soal. Yang penting tangkap dulu baru periksa kemudian.

Dalam hal ini tentara Indonesia tidak sendirian. Tentara Amerika juga puya gaya serupa ketika menyerang Irak tahun 2003 lalu. Diisukan bahwa di sana ada senjata pemusnah masal. Oleh karena itu mesti segera diserbu dan diduduki. Adapun kemudian tidak terbukti keberadaan tuduhannya, ya tetap lumayan, karena dapat mengamankan sumur minyak terbesar ketiga di dunia.

Berbicara soal sumur, ada kejadian lain yang cukup menggelikan terjadi di sekitar Irak, yakni negara tetangga jauhnya, Yaman. Kalian tahu, negara itu sedang kacau balau, kelaparan mencekik badan dan kematian menguar di sepenjuru negara. Blokade bantuan pangan dan kekeringan menyebabkan burung bangkai terbang seolah mengitari udara menunggu calon pakan.tumbang.

Penyebab utamanya adalah tindakan Arab Saudi yang menggempur dan mengurung suku Houthi Yaman. Perang ini seolah sudah seperti battle royal dengan peserta yang kelaparan. Adapun yang didukung orang Indonesia kebanyakan, terutama organisasi yang gemar berjihad adalah pihak penyerang. Sebab suku Houthi adalah Syiah. Dan karena Syiah ia disukung Irang. Dan karena Houthi dan Iran sama-sama Syiah, mereka pantas dikafankan.

Para pembaca yang senantiasa dikarunai banjir bandang dan hujan badai, di Yaman, kita tahu adalah wilayah gersang dengan sumur sebagai penopang kehidupan utama. Aku pernah baca secara serampangan bahwa tubuh manusia 70 persennya adalah air. Tak heran seorang filsuf Yunani bernama Thales bilang bahwa dunia serta penghuninya, termasuk manusia tentu saja, terbuat dari air melainkan lempung.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana takdir tubuh manusia yang kekurangan pasokan air, ia cuma butuh 4 hari untuk menjadi bangkai. Demi menghindari nasib itu, orang Yaman lantas mengebor tanah hingga kedalaman 500 meter, setelah menggempur ratusan meter batu dan mengorbankan sekian mata bor, barulah air akan menyembul dari lubang itu.

Malam itu malam lebaran di Arhab, sebuah distrik Yaman yang sedang kekeringan. Keberhasilan pengeboran telah membuat semua orang bersuka dan sungguh merasakan berkah Idul Fitri yang akan tiba esok hari. Namun sayang, misil perang tak mengenal syukur atau lebaran. Malam itu juga, di sebidang batu tempat semua orang berkumpul merayakan kembalinya sumber kehidupan, berkas sinar laser tak kasat mata sebuah jet tempur membidik. Seketika sebuah misil sepanjang 4 meter meluluhlantakkan semuanya. Begitu lesakan misil berumah di sana, cahaya meledak, udara mengambang, Ali Qied, remaja berumur 14 tahun, menggelosor tanpa nyawa.

Laporan tadi dipublikkan Jeffery Stern di laman New York Times, bertepatan dengan tiga tahun perang Arab Saudi atas suku Houthi di Yaman pada Desember kemarin. Ia menemui Rabeea, pemilik mesin bor yang nyaris remuk karena istirahat di samping sumur malang hasil kerjanya.

Rabeea seorang muslim taat pengusaha sumur bor tidak punya pikiran buruk atas jet tempur. Meski banyak kawan seprofesinya yang berkisah tentang jet tempur penembak sumur. Baginya tidak cukup alasan untuk jet tentara yang perkasa melawannya. Rabeea bekerja secara jujur dengan niatan membantu umat miskin dan kehausan di Yaman. Penuh keyakinan ia berkata, “Jet-jet itu, tidak punya urusan dengan seorang pria di jalan Tuhan.”

Penembakan sumur adalah strategi pembunuhan yang menarik tentu saja. Di Yaman, ia bisa membantu kematian 85 ribu balita dan menyebarkan wabah kolera ke sepenjuru negara. Mati dalam kelaparan dan kehausan adalah puncak dari hinanya kematian. Seekor nyamuk laknat yang mengigit kulitmu saja mati dalam kenyang, mengapa manusia tidak?

Aku dulu berpikir bahwa perang adalah adu kekuatan secara fair, dan tentara mesti bertempur melawan tentara, bukan sipil. Tentara tak boleh bermuslihat kayak politikus atau mendramatisir kematian semacam psikopat. Sehingga dalam aspek ini masing-masing mesti maklum, sesama bajingan tidak boleh berebut lahan.

Rekomendasi Artikel

No Comments yet!

Your Email address will not be published.